Sabtu, 07 November 2009

Pelimpah

PELIMPAH

Disediakan pada bendung untuk melewatkan kelebihan air yang dimasukkan kedalam saluran atau gorong-gorong sesuai dengan keadaannya, dan pada waduk untuk melewatkan kelebihan air yang tak dapat diisi dalam bagian ruang penyimpanan.

Jenis Pelimpah
- Pelimpah Sifon
- Pelimpah bentuk sumur (shaft spillway)
- Pelimpah luapan samping (side channel spillway)
- Pelimpah bersaluran curam (chute spillway)
- Pelimpah lengkung (ogee)


Tahun 1886-1888, Bazin melakukan penyelidikan pertama terhadap bentuk tirai luapan. Tahun 1932-1948 banyak percobaan ttg bentuk tirai luapan diatas bendung mercu tajam yang dilakukan oleh US Bureau Reclamation (USBR) yaitu menyusun koordinat permukaan lapisan luapan untuk bendung tegak dan berkemiringan. Berdasarkan data USBR, The Army Corps. Of Engineerig menyusun bentuk baku di WaterWays Experiment Station (WES)
Xn = K.Hdn-1 Y
Dengan:
 X,Y = Koordinat profil mercu dengan titik awal pada titik tertinggi dari mercu
 Hd = Tinggi tekan rancangan tanpa tinggi kecepatan aliran masuk
 K,n = Nilai yang tergantung pada kemiringan muka pelimpah
Kemiringan Hulu K n
Tegak lurus 2 1,85
3:1 1,936 1,836
3:2 1,939 1,81
3:3 1,873 1,776

Loncatan Hidrolik

LONCATAN HIDROLIK

Penelitian pertama tentang loncatan hidrolik dilakukan oleh Bidone tahun 1818.
Penggunaan loncatan hidrolik untuk peredaman energi dibawah pelimpah, waduk, dan pintu sehingga penggerusan yang tidak diharapkan di hilir saluran dapat dihindari. Juga digunakan untuk menaikkan muka air di hilir untuk menyediakan tinggi tekan untuk menambahkan berat air pada lantai lindung (Apron) untuk menetralkan tekanan angkat (Uplift Pressure) sehingga mengurangi ketebalan lantai lindung
Loncatan hidrolik juga digunakan untuk sistem pengaliran air bersih perkotaan untuk mencampur bahan kimia dan juga mengeluarkan gelembung-gelembung udara.

Senin, 02 November 2009

Kimia, Laju reaksi

Laju Reaksi
Laju reaksi atau kecepatan reaksi menyatakan banyaknya reaksi yang berlangsung per satuan waktu. Laju reaksi menyatakan konsentrasi zat terlarut dalam reaksi yang dihasilkan tiap detik reaksi. hakekatnya adalah model matematika untuk meramalkan perubahan konsentrasi zat dalam suatu rekasi terhadap waktu.
Faktor yang Berpengaruh
1. Luas permukaan sentuh
Memiliki peranan yang penting dalam jumlah, sehingga menyebabkan laju reaksi semakin cepat. Begitu juga jika semakin luas permukaannya kecil, maka semakin kecil tumbukan yang terjadi antar partikel, sehingga laju reaksi pun semakin kecil. Karakteristik kepingan yang direaksikan juga turut berpengaruh, yaitu semakin halus kepingan itu maka semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi sedangkan semakin kasar kepingan itu, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi. Misalnya seperti obat puyer dengan tablet, maka lebih cepat bereaksi dalam lambung daripada obat tablet karena obat puyer memiliki bentuk serbuk yang berarti luas permukaan sentuh lebih besar.

2. Suhu
Juga turut berperan dalam mempengaruhi laju reaksi. Apabila suhu pada suatu reaksi yang berlangsung dinaikkan maka menyebabkan partikel semakin aktif bergerak, karena energi kinetik molekul zat bertambah sehingga tumbukan yang terjadi semakin sering, menyebabkan laju reaksi semakin besar. Sebaliknya, apabila suhu diturunkan, maka partikel semakin tak aktif, sehingga laju reaksi semakin kecil. Misalnya seperti melarutkan gula pada air dingin dan air panas, maka gula di air panas lebih cepat larut daripada di air dingin.

3. Tekanan
Bergantung pada suhu, jika suhu tinggi maka tekanan menjadi kecil sehingga molekul menjadi lebih dekat, maka lebih banyak tumbukan yang terjadi.

4. Konsentrasi Pereaksi
Makin pekat suatu konsentrasi zat pereaksi makin banyak kemungkinan timbukan antar molekul zat yang menghasilkan reaksi, seperti analogi pada jalan raya yang dipadati oleh kendaraan maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya kecelakaan.

5. Katalis
Suatu zat yang mempercepat atau memperlambat laju reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri. Suatu katalis berperan dalam reaksi tapi bukan sebagai pereaksi ataupun produk. Katalis memungkinkan reaksi berlangsung lebih cepat atau memungkinkan reaksi pada suhu lebih rendah akibat perubahan yang dipicunya terhadap pereaksi. Katalis menyediakan suatu jalur pilihan dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Katalis mengurangi energi yang dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi.
Katalis dapat dibedakan dalam 2 golongan:
a. Katalis Heterogen adalah katalis yang ada dalam fase berbeda dengan pereaksi dalam reaksi yang dikatalisnya, contohnya bahwa katalis menyediakan suatu permukaan di mana pereaksi-pereaksi (atau substrat) untuk sementara terjerat. ikatan dalam substrat-substrat menjadi lemah sedemikian sehingga memadai terbentuknya produk baru dan katalis lebih lemah, sehingga akhirnya terlepas.
b. Katalis Homogen berada dalam fase yang sama, umumnya bereaksi dengan satu atau lebih pereaksi untuk membentuk suatu perantara kimia yang selanjutnya bereaksi membentuk produk akhir reaksi, dalam suatu proses yang memulihkan katalisnya. Ilustrasi:

A + C  AC (i)
AC + B  AB + C (ii)

Meskipun katalisnya (C) termakan dalam reaksi (i) namun selanjutnya dihasilkan kembali oleh reaksi (ii), sehingga untuk reaksi keseluruhan menjadi

A + B + C  AB + C

Beberapa katalis yang pernah dikembangkan antara lain berupa katalis Ziegler-Natta yang digunakan untuk produksi masal polietilen dan polipropilen. Reaksi katalitis yang paling dikenal adalah proses Haber, yaitu sintesis amoniak menggunakan besi biasa sebagai katalis. Konveter katalitik yang dapat menghancurkan produk emisi kendaraan yang paling sulit diatasi, terbuat dari Platina dan Rodium.
c. Katalisator enzim
Katalis sangat diperlukan dalam reaksi zat organik, termasuk dalam organisme. Reaksi-reaksi metabolisme dapat berlangsung pada suhu tubuh yang realtif rendah berkat adanya suatu biokatalis yang disebut enzim. Enzim dapat meningkatkan laju reaksi dengan faktor 106 hingga 1018, namun hanya untuk reaksi yang spesifik.
Dalam tubuh kita terdapat ribuan jenis enzim karena setiap enzim hanya dapat mengkatalisis satu reaksi spesifik dalam molekul (substrat) tertentu, Dalam proses katalisis enzim yang digunakan harus sesuai dengan substratnya
SIFAT ZAT YANG BEREAKSI
Sifat mudah sukarnya suatu zat bereaksi akan menentukan kecepatan berlangsungnya reaksi.
Secara umum dinyatakan bahwa:
- Reaksi antara senyawa ion umumnya berlangsung cepat.
Hal ini disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik antara ion-ion yang muatannya berlawanan.

Contoh: Ca2+(aq) + CO32+(aq)  CaCO3(s)
Reaksi ini berlangsung dengan cepat.

- Reaksi antara senyawa kovalen umumnya berlangsung lambat.
Hal ini disebabkan karena untuk berlangsungnya reaksi tersebut dibutuhkan energi untuk memutuskan ikatan-ikatan kovalen yang terdapat dalam molekul zat yang bereaksi.

Contoh: CH4(g) + Cl2(g) ® CH3Cl(g) + HCl(g)
Reaksi ini berjalan lambat reaksinya dapat dipercepat apabila diberi energi misalnya cahaya matahari.

Mengukur laju reaksi
Ada beberapa cara untuk mengukur laju dari suatu reaksi. Sebagai contoh, jika gas dilepaskan dalam suatu reaksi, kita dapat mengukurnya dengan menghitung volume gas yang dilepaskan per menit pada waktu tertentu selama reaksi berlangsung.
Definisi Laju ini dapat diukur dengan satuan cm3s-1
Bagaimanapun, untuk lebih formal dan matematis dalam menentukan laju suatu reaksi, laju biasanya diukur dengan melihat berapa cepat konsentrasi suatu reaktan berkurang pada waktu tertentu.
Sebagai contoh, andaikan kita memiliki suatu reaksi antara dua senyawa A dan B. Misalkan setidaknya salah satu mereka merupakan zat yang bisa diukur konsentrasinya-misalnya, larutan atau dalam bentuk gas.

Untuk reaksi ini kita dapat mengukur laju reaksi dengan menyelidiki berapa cepat konsentrasi, katakan A, berkurang per detik.
Kita mendapatkan, sebagai contoh, pada awal reaksi, konsentrasi berkurang dengan laju 0.0040 mol dm-3 s-1.
Hal ini berarti tiap detik konsentrasi A berkurang 0.0040 mol per desimeter kubik. Laju ini akan meningkat seiring reaksi dari A berlangsung.
Kesimpulan
Untuk persamaan laju dan order reaksi, laju reaksi diukur dengan cara berapa cepat konsentrasi dari suatu reaktan berkurang. Satuannya adalah mol dm-3 s-1
Order reaksi
Halaman ini tidak akan mendefinisikan apa arti order reaksi secara langsung, tetapi mengajak kita untuk mengerti apa itu order reaksi.
Order reaksi selalu ditemukan melalui percobaan. Kita tidak dapat menentukan apapun tentang order reaksi dengan hanya mengamati persamaan dari suatu reaksi.
Jadi andaikan kita telah melakukan beberapa percobaan untuk menyelidiki apa yang terjadi dengan laju reaksi dimana konsentrasi dari satu reaktan, A, berubah, Beberapa hal-hal sederhana yang akan kita temui adalah ;
Kemungkinan pertama : laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi A
Hal ini berarti jika kita melipatgandakan konsentrasi A, laju reaksi akan berlipat ganda pula. JIka kita meningkatkan konsentrasi A dengan faktor 4, laju reaksi pun akan menjadi 4 kali lipat.
Kita dapat mengekspresikan persamaan ini dengan simbol :

Adalah cara yang umum menulis rumus dengan tanda kurung persegi untuk menunjukkan konsentrasi yang diukur dalam mol per desimeter kubik (liter).
Kita juga dapat menulis tanda berbanding lurus dengan menuliskan konstanta (tetapan), k.

Kemungkinan lainnya : Laju reaksi berbanding terbalik dengan kuadrat konsentrasi A
Hal ini berarti jika kita melipatgandakan konsentrasi dari A, laju reaksi akan bertambah 4 kali lipat (22). Jika konsentras dari Ai ditingkatkan tiga kali lipat, laju reaksi akan bertambah menjadi 9 kali lipat (32). Dengan simbol dapat dilambangkan dengan:


Secara umum,
Dengan melakukan percobaan yang melibatkan reaksi antara A dan B, kita akan mendapatkan bahwa laju reaksi berhubugngan dengan konsentrasi A dan B dengan cara :

Hubungan ini disebut dengan persamaan laju reaksi :
Kita dapat melihat dari persamaan laju reaksi bahwa laju reaksi dipengaruhi oleh pangkat dari konsentrasi dari A dan B. Pangkat-pangkat ini disebut dengan order reaksi terhadap A dan B
Jika order reaksi terhadap A adalah 0 (no), berarti konsentrasi dari A tidak mempengaruhi laju reaksi.
Order reaksi total (keseluruhan), didapat dengan menjumlahkan tiap-tiap order. Sebagai contoh, di dalam reaksi order satu terhadap kedua A dan B (a = 1 dan b = 1), order reaksi total adalah 2. Kita menyebutkan order reaksi total dua.
Beberapa contoh
Tiap contoh yang melibatkan reaksi antara A dan B, dan tiap persamaan laju didapat dari ekperimen untuk menentukan bagaimana konsentrasi dari A dan B mempengaruhi laju reaksi.
Contoh 1:

Dalam kasus ini, order reaksi terhadap A dan B adalah 1. Order reaksi total adalah 2, didapat dengan menjumlahkan tiap-tiap order.
Contoh 2:

Pada reaksi ini, A berorder nol karena konsentrasi A tidak mempengaruhi laju dari reaksi. B berorder 2 , sehingga order reaksi total adalah dua.

Contoh 3:

Pada reaksi ini, A berorder satu dan B beroder nol, karena konsentrasi B tidak mempengaruhi laju reaksi. Order reaksi total adalah satu.
Bagaimana bila kita memiliki reaktan-reaktan lebih dari dua lainnya?
Tidak menjadi masalah berapa banyak reaktan yang ada. Konsentasi dari tiap reaktan akan berlangsung pada laju reaksi dengan kenaikan beberapa pangkat. Pangkat-pangkat ini merupakan order tersendiri dari setiap reaksi. Order total (keseluruhan) dari reaksi didapat dengan menjumlahkan tiap-tiap order tersebut.
Ketetapan laju
Hal yang cukup mengejutkan, Ketetapan laju sebenarnya tidak benar-benar konstan. Konstanta ini berubah, sebagai contoh, jika kita mengubah temperatur dari reaksi, menambahkan katalis atau merubah katalis.
Tetapan laju akan konstan untuk reaksi yang diberikan hanya apabila kita mengganti konsentrasi dari reaksi tersebut. Anda akan mendapatkan efek dari perubahaan suhu dan katalis pada laju konstanta pada halaman lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
WIKIPEDIA.ORG
CHEM-IS-TRY.ORG
GOOGLE.COM

Algoritma Genetika

TUGAS PENGELOLAAN KUALITAS AIR





DISUSUN OLEH :

M. Nuurussubchiy F. 0810640052






DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
JURUSAN PENGAIRAN
FAKULTAS TEKNIK
MALANG
2009
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam pekerjaan yang berhubungan dengan Pengairan akan terasa sulit jika melakukannya tanpa bantuan komputer. Seiring berkembangnya jaman dan kemajuan teknologi, maka pakar-pakar komputer membuat suatu software untuk memudahkan pekerjaan kita.
Dalam Ilmu Sipil dan Pengairan, mereka membuat banyak sekali software yang tentunya berguna dalam pekerjaan tertentu.
Misalnya AutoCAD yang dapat digunakan untuk merancang desain bangunan, tapi tidak bisa digunakan untuk digitasi dan pembuatan peta, namun AutoCAD dapat dilengkapi dengan AutodeskMap yang menambah fitur untuk pembuatan peta.
HEC-RAS yang bisa dipakai untuk membuat simulasi aktifitas sungai.
Fortran sebagai pengolah bahasa pemrograman yang dapat dipakai sesuai kebutuhan.
Adapula Algoritma Genetika yang pada dasarnya adalah program komputer yang mensimulasikan proses evolusi. Dalam hal ini populasi dari kromosom dihasilkan secara random dan memungkinkan untuk berkembang biak sesuai dengan hukum-hukum evolusi dengan harapan akan menghasilkan individu kromosom yang prima. Kromosom ini pada kenyataannya adalah kandidat penyelesaian dari masalah, sehingga bila kromosom yang baik berkembang, solusi yang baik terhadap masalah diharapkan akan dihasilkan.
Jadi dalam ilmu Pengairan tidak bisa hanya digunakan satu software yang berbeda namun harus menggunakan berbagai macam software untuk membantu dalam pelaksanaan pekerjaan tertentu secara efektif









BAB II
PEMBAHASAN
Algoritma Genetika pada dasarnya adalah program komputer yang mensimulasikan proses evolusi. Dalam hal ini populasi dari kromosom dihasilkan secara random dan memungkinkan untuk berkembang biak sesuai dengan hukum-hukum evolusi dengan harapan akan menghasilkan individu kromosom yang prima. Kromosom ini pada kenyataannya adalah kandidat penyelesaian dari masalah, sehingga bila kromosom yang baik berkembang, solusi yang baik terhadap masalah diharapkan akan dihasilkan.
Algoritma Genetika ini banyak dipakai pada aplikasi bisnis, teknik maupun pada bidang keilmuan. Algoritma ini dapat dipakai untuk mendapatkan solusi yang tepat untuk masalah optimal dari satu variabel atau multi variabel. Sebelum algoritma ini dijalankan, masalah apa yang ingin dioptimalkan itu harus dinyatakan dalam fungsi tujuan, yang dikenal dengan fungsi fitness. Jika nilai fitness semakin besar, maka sistem yang dihasilkan semakin baik. Walaupun pada awalnya semua nilai fitness kemungkinan sangat kecil (karena algoritma ini menghasilkannya secara random), sebagian akan lebih tinggi dari yang lain. Kromosom dengan nilai fitness yang tinggi ini akan memberikan probabilitas yang tinggi untuk bereproduksi pada generasi selanjutnya. Sehingga untuk setiap generasi pada proses evolusi, fungsi fitness yang mensimulasikan seleksi alam, akan menekan populasi kearah fitness yang meningkat.
Algoritma genetika sangat tepat digunakan untuk penyelesaian masalah optimasi yang kompleks dan sukar diselesaikan dengan menggunakan metode yang konvensional. Sebagaimana halnya proses evolusi di alam, suatu algoritma genetika yang sederhana umumnya terdiri dari tiga operator yaitu: operator reproduksi, operator crossover (persilangan) dan operator mutasi. Struktur umum dari suatu algoritma genetika dapat didefinisikan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membangkitkan populasi awal, Populasi awal ini dibangkitkan secara random sehingga didapatkan solusi awal. Populasi itu sendiri terdiri dari sejumlah kromosom yang merepresentasikan solusi yang diinginkan.
2. Membentuk generasi baru, Dalam membentuk digunakan tiga operator yang telah disebut di atas yaitu operator reproduksi/seleksi, crossover dan mutasi. Proses ini dilakukan berulang-ulang sehingga didapatkan jumlah kromosom yang cukup untuk membentuk generasi baru dimana generasi baru ini merupakan representasi dari solusi baru.
3. Evaluasi solusi, Proses ini akan mengevaluasi setiap populasi dengan menghitung nilai fitness setiap kromosom dan mengevaluasinya sampai terpenuhi kriteria berhenti. Bila kriteria berhenti belum terpenuhi maka akan dibentuk lagi generasi baru dengan mengulangi langkah 2. Beberapa kriteria berhenti yang sering digunakan antara lain:
• Berhenti pada generasi tertentu.
• Berhenti setelah dalam beberapa generasi berturut-turut didapatkan nilai fitness tertinggi dan tidak berubah.
• Berhenti bila dalam n generasi berikut tidak didapatkan nilai fitness yang lebih tinggi.
2. Aplikasi Optimasi GA pada Sistem Jaringan Pipa Air Bersih
Dalam sistem air bersih aplikasi GA umumnya dapat digunakan dalam kalibrasi model hidrolis jaringan pipa dan optimasi perencanaan jaringan baru atau pengembangan jaringan untuk mendapatkan harga pipa yang paling murah dengan memilih diameter pipa dengan harga yang paling ekonomis tetapi tetap mememenuhi kriteria hidrolis yang ditentukan (misalnya: sisa tekan pada titik sadap minimal 30m). Sebagai contoh dalam optimasi jaringan dengan GA, kita dapat mengasumsikan diameter pipa yang akan dipilih sebagai kromosom dan dikodekan kedalam kode string biner. Contohnya adalah sebagai berikut:





Kode Biner Diameter Pipa (") Harga Unit
0000 1 2
0001 2 5
0010 3 8
0011 4 11
0100 5 16
0101 8 23
0110 10 32
0111 12 60
1000 14 60
1001 16 90
1010 18 130
1011 20 170
1100 22 300
1101 24 500
Maka kita akan mendapat urutan string biner sebagai berikut :
String biner : 0000 0001 0010 0011 0100 0101 0110 0111 1000 1001 1010 1011 1100 1101
Selanjutnya kita melakukan proses iterasi (pengulangan) evolusi GA pada string biner kromosom ini, mengubah diameter pipa pada jaringan, lalu mengetes hasilnya pada program simulator hidrolis (misal: Epanet) dan diulang sampai kriteria berhenti pada evaluasi solusi tercapai.
Optimasi GA adalah alat yang ampuh yang dapat digunakan oleh pengelola air bersih dan konsultan untuk membantu mencari solusi yang mendekati optimal pada masalah perencanaan, perancangan dan operasi sistem air bersih. Optimasi GA tidak seharusnya dilihat sebagai pendekatan yang bersaing dengan analisa simulasi tradisional. Tetapi GA adalah langkah lanjutan dari analisa simulasi dimana dengan penggunaan GA akan didapat penghematan biaya 20% - 30%.
Dibawah ini akan kita lihat bagaimana GA dapat ditempatkan dalam proses studi dengan melihat langkah-langkah studi simulasi tradisional dan langkah-langkah dalam analisis optimasi GA:
2.1. Langkah-langkah pada Pendekatan Simulasi Tradisional
Pada umumnya langkah-langkah pada master plan distribusi air bersih adalah sebagai berikut:
Langkah 1 - Pembuatan model sistem eksisting menggunakan EPANET, ALEID, H2ONet, MIKENet, KYPIPE, WaterCAD, dll.
Langkah 2 - Kalibrasi model berdasarkan pengukuran lapangan.
Langkah 3 - Tentukan kebutuhan air di masa yang akan datang yang harus dicapai dan disain dan kriteria kinerja yang harus dipenuhi.
Langkah 4 - Tambahkan pipa, reservoar, pompa dan valve pada sistem dan jalankan simulasi untuk melihat apakah simulasi dapat bekerja.
Langkah 5 - Lanjutkan penyesuaian peningkatan yang diusulkan dengan cara coba-coba sampai ditemukan solusi yang tepat (atau limit biaya telah terlampaui).
2.2. Langkah-langkah yang diperlukan dalam aplikasi Optimasi GA
Optimasi GA masuk ke dalam proses setelah langkah 1,2 dan 3 selesai. Dari pada menggunakan cara pendekatan coba-coba (trial-and-error) untuk evaluasi hasil solusi satu persatu pada langkah 4 dan 5, otomatisasi GA digunakan untuk mengidentifikasi biaya termurah, yang mendekati solusi optimal sebagai berikut:
Langkah 4 - Identifikasikan pilihan yang memungkinkan untuk pengadaan baru atau rehab dari pipa, reservoar, pompa dan valve dan pilihan operasi.
Langkah 5 - Formulasikan rutin GA untuk variabel-variabel dari keputusan tersebut.
Langkah 6 - Hubungkan model hidrolis pada rutin GA.
Langkah 7 - Lakukan dan jalankan GA dan dapatkan masukan dan arah dari ahli hidrolis.
Langkah 8 - Finalisasikan alternatif yang dihasilkan dan verifikasi.
Pada umumnya langkah 5, 6, dan 7 telah tercakup dalam software aplikasi optimasi GA, sehingga lebih memudahakan untuk pengguna. Dengan demikian optimasi GA dengan mudah diintegrasikan pada proses studi pada tahap evaluasi alternatif. Data dan informasi yang dibutuhkan oleh GA sama persis dengan data yang dibutuhkan oleh engineer dalam menggunakan analisis simulasi.
Analisa GA membutuhkan:
• Sistem simulasi model hidrolis
• Daftar elemen (pipa, reservoar, pompa, valve) dan pilihan operasional yang seharusnya dipertimbangkan sebagai opsi dalam perencanaan
• Harga dari tiap elemen yang dipakai
• Daftar dari kriteria disain dan kinerja sisteim yang harus dicapai
Tampilannya dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Setelah aplikasi dijalankan (tekan tombol Optimasi) akan telihat diameter pipa berubah misalnya pada pipa nomor 7 rancangan awal diameter pipa 14" berubah menjadi 10", pada pipa nomor 8 pipa diameter 8" tenyata cukup digunakan 1" saja. Biaya juga menurun dari 501.000 unit menjadi 419.000 unit saja dengan penghematan biaya 16,4%. Kita juga dapat lebih menurunkan biaya dengan menurunkan nilai Minimal sisa tekan (dalam meter), standar di Indonesia biasanya 10 - 15m saja.
Aplikasi demonya dapat anda download di alamat berikut www.bimacipta.com/files/gademo.zip

3. Aplikasi pada bidang lain
Telah lebih dari 10-15 tahun GA digunakan dalam lingkungan aplikasi yang luas, seperti :
• Disain jaringan listrik tegangan tinggi, penjadwalan konstruksi, management investasi.
• Dalam bidang lain seperti: disain sirkuit terintegrasi (IC) untuk mendapatkan ukuran yang lebih kecil, perancangan mesin turbin gas untuk mendapatkan penggunaan bahan bakar yang effisien pada pesawat udara, perencanaan jaringan kabel filber optik.
• dll.















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah memperhatikan isi dalam pembahasan di atas, maka dapat penulis terik kesimpulan sebagai berikut:
Software yang berhubungan dengan Teknik Pengairan tidaklah selalu dalam Software yang sudah jadi seperti AutoCAD, HECRAS, WaterCad, dll. Namun juga bisa dalam bentuk bahasa pemrograman, seperti Genetika Algoritma, c++, maupun Fortran hingga VisualBasic.
Dan hendaknya dalam Pengerjaan Teknik Pengairan kita dapat memperhitungkan program mana yang akan digunakan untuk dapat mendapat tingkat keefektifan yang tinggi















Artikel oleh Budi Sukmawan berjudul Sekilas Tentang Algoritma Genetika dan Aplikasinya pada Optimasi Jaringan Pipa Air Bersih. Diedit serta ditulis ulang oleh M. Nuurussubchiy Fikriy tanpa merubah maksud.

Ilmu Ukur Tanah

BAB I
PENDAHULUAN

Secara umum Ilmu Ukur Tanah adalah ilmu yang mempelajari cara-cara pengukuran yang diperlukan untuk menyatakan kedudukan titik dipermkaan. Ilmu Ukur Tanah merupakan bagian dari ilmu yang dinamakan ilmu Geodesi. Ilmu Geodesi mempunyai dua maksud, yaitu :
1. Maksud ilmiah : menentukan permukaan bumi.
2. Maksud Praktis : Membuat bayangan dari sebagian besar atau kecil
permukaan bumi yang dinamakan peta.
Ilmu Ukur Tanah sendiri terbagi menjadi dua bagian penting, yaitu :
1. Geodesi rendah yang disebut Ilmu Ukur Tanah (Plane Surveying)
2. Geodesi tinggi yang disebut Geodetical Surveying.
Dalam hal yang dapat kita pelajari adalah ilmu geodesi dengan maksud praktis. Jadi Ilmu Geodesi yang kita pelajari adalah peta. Artinya bagaimana melakukan pengukuran diatas permukaan bumi yang mempunyai bentuk yang tidak beraturan karena adanya perbedaan ketinggian tempat antara satu dengan yang lainnya.
Penempatan lokasi yang ada secara tepat dan sistematis termasuk bagian dari geodesi














BAB II
PEMBAHASAN

Alat Ukur Tanah

Alat – alat ukur tanah adalah alat – alat yang dipersiapkan guna mengukur jarak dan atau sudut. Alat – alat yang digunakan ada yang tergolong sederhana dan ada yang tergolong modern. Sederhana atau modernnya alat ini dapat dilihat dari komponen alatnya dan cara menggunakannya.

Pada umumnya dikenal dua alat ukur :

A. Teodolit (Alat Ukur Sudut)
Teodolit adalah alat ukur sudut baik horizontal maupun vertikal sehingga pada alat ini teropong harus dapat berputar pada dua lingkaran berskala, yaitu lingkaran berskala tegak dan mendatar. Alat ini juga tergolong alat berkaki tiga yaitu pada operasionalnya harus terpasang berkaki tiga atau statif.

I. Prinsip kerja alat.
Teropong atau lebih tegasnya benag diafragma mendatar pada jarak tertentu, bila diputar mendatar harus membentuk bidang horizontaldan benang diafragma tegak bila diputar ke arah tegak harus membentuk atau mengikuti bidang vertikal.

II. Kegunaan alat.
Teodolit dinyatakan sebagai alat ukur sudut, karena alat ini disiapkan atau dirancang untuk mengukur sudut baik sudut vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu kegunaan alat ukur ini adalah untuk mengukur sudut. Kegunaan lain alat ukur ini yaitu dengan bantuan rambu ukur dapat digunakan sebagai pengukur jarak baik jarak horizontal maupun miring dan mengukur beda tinggi dengan menggunakan metode. Theodolit dipasang di tripod. Sumbu kesatu sudah dalam keadaan tegak, yang diperlihatkan oleh kedudukan gelembung nivo kotak ada di tengah. Sumbu kedua sudah dalam keadaan mendatar, yang diperlihatkan oleh gelembung nivo tabung ada di tengah. Pada pembidikan alat yang diatur adalah benangnya karena teropong theodolit penggunaannya tidak harus mendatar.

III. Bagian alat – alat ukur beserta fungsinya :
1. Teropong, berfungsi sebagai pembidik
2. Visir, selain berfungsi sebagai alat pengarah secara kasar, juga berfungsi sebagai penunjuk bacaan sudut, yaitu apabila posisinya berada di atas maka pembacaan alat disebut sebagai bacaan biasa, sedangkan bila posisi visir ada di bawah maka disebut sebagai bacaan luar biasa. Bacaan biasa dan luar biasa berselisih 1800 atau 200g
3. Nivo tabuung, sebagai petunjuk pengaturan sumbu kedua atau sumbu mendatar gelembung nivo berada di tegah berarti sumbu kedua dalam keadaan mendatar.
4. Kunci gerakan vertical, berfungsi untuk mengunci agar teropong tidak bergerak kea rah vertical dan bila terkunci gerakan halus vertical akan berfungsi.
5. Sumbu kedua, berfungsi agar teropong dapat bergerak atau berputar kea rah vertical.
6. Pemokus bidikan, berfungsi memperjelas sasaran yang di bidik.
7. Pemokus diafragma, berfungsi memperjelas keberadaan benang diafragma.
8. Teropong alat pembacaan sudut vertical.
9. Lingkaran vertical, lingkaran berskala yang menunjukkan bacaan sudut vertical.
10. Pemokus bacaaan sudut vertical, berfungsi memperjelas skala bacaan sudut vertical.
11. Skrup pengatur gerakan halus vertical, berfungsi untuk menepatkan bidikan atau benang diafragma mendatar pada tinggi bidikan yang dikehendaki.
12. Skrup pengatur nivo tabung, berfungsi mengatur gelembung nivo tabung
13. Teropong alat baca sudut horizontal, berfungsi melihat bacaan sudut horizontal
14. Pemokus bacaan sudut horizontal, untuk memperjelas skala bacaan sudut horizontal
15. Kunci gerakaan horizontal, untuk mengunci agar teropong tidak berputar atau bergerak kearah horizontal dan memfungsikan gerakan halus horizontal
16. Skrup pengatur gerakan halus horizontal, untuk menggerakkan bidikan atau benang diafragma tegak ke arah horizontal sehingga tepat ke sasaran.
17. Vernier, untuk menghimpitkan skala atas dan bawah pada bacaan sudut horizontal dan sebagai tambahan bacaan sudut horizontal dalam satuan menit atau centigridnya
18. Sumbu tegak atau sumbu ke satu, berfungsi agar teropong dapat berputar ke arah horizontal
19. Nivo kotak, berfungsi sebagai vertikalnya sumbu kesatu
20. Tiga skrup pendatar, untuk sebagai pengatur nivo kotak
21. Kunci Bousol, untuk mengunci atau melepaskan kuncian dari lingkaran horizontal berskala sebagai penunjuk bacaan sudut horizontal yang dapat bergerak seperti kompas. Bila kunci Bousul di buka bacaan sudut horizontal menunjukkanbacaan azimuth dari arah tersebut
22. Bousol, berfungsi sebagai kompas bidikan atau bacaan sudut azimuth dari arah bidikan





Gambar 48 Theodolit beserta bagian-bagiannya






B. WATERPAS (Penyipat Datar)
Waterpas adalah alat ukur menyipat datar dengan teropong dengan dilengkapi nivo dan sumbu mekanis tegak sehingga teropong dapat berputar ka arah horizontal. Alat ini tergolong alat penyipat datar kaki tiga atau Tripod level, karena alat ini bila digunakan harus dipasang diatas kaki tiga atau statif.

B.I. Prinsip kerja alat.
Yaitu garis bidik kesemua arah harus mendatar, sehingga membentuk bidang datar atau horizontal dimana titik – titik pada bidang tersebut akan menunjukkan ketinggian yang sama.

B.II. Kegunaan alat.
Fungsi utama :
1. Memperoleh pandangan mendatar atau mendapat garis bidikan yang sama tinggi, sehingga titik – titik yang tepat garis bidikan/ bidik memiliki ketinggian yang sama.
2. Dengan pandangan mendatar ini dan diketahui jarak dari garis bidik yang dapat dinyatakan sebagai ketinggian garis bidik terhadap titik – titik tertentu, maka akan diketahui atau ditentukan beda tinggi atau ketinggian dari titik – titik tersebut.
Alat ini dapat ditambah fungsi atau kegunaannya dengan menambah bagian alat lainnya. Umumnya alat ukur waterpas ditambah bagian alat lain, seperti :
1.Benang stadia, yaitu dua buah benag yang berada di atas dan dibawah serta sejajar dan dengan jarak yang sama dari benang diafragma mendatar. Dengan adanya benang stadia dan bantuan alat ukur waterpas berupa rambu atau bak ukur alat ini dapat digunakan sebagai alat ukur jarak horizontal atau mendatar. Pengukuran jarak dengan cara seperti ini dikenal dengan jarak optik.
2. Lingkaran berskala, yaitu lingkaran di badan alat yang dilengkapi dengan skala ukuran sudut. Dengan adanya lingkaran berskala ini arah yang dinyatakan dengan bacaan sudut dari bidikan yang ditunjukkan oleh benang diafragma tegak dapat diketahui, sehingga bila dibidikkan ke dua buah titik, sudut antara ke dua titik tersebut dengan alat dapat ditentukan atau dengan kata lain dapat difungsikan sebagai alat pengukur sudut horizontal.

B.III. Bagian – bagian alat ukur waterpas beserta fungsinya.
Alat ukur waterpas yang sederhana hanya terdiri dari empat komponen atau bagian alat yaitu :
1. Teropong yang didalamnya terdapat lensa obyektif, lensa okuler dan diafragma,
2. Nivo kotak dan nivo tabung
3. Sumbu satu dan,
4. Tiga skrup pendatar.
Namun bagian – bagian utama dari alat ukur waterpas NK1/NK2 dan fungsinya sbb:
1. Teropong, berfungsi sebagai alat pembidik.
2. Visir, berfungsi sebagai alat pengarah bidikan secaara kasar sebelum dibidik dilakukan melalui teropong atau lubang tempat membidik.
3. Lubang tempat membidik.
4. Nivo kotak, digunakansebagai penunjuk Sumbu Satu dalam keadaan tegak atau tidak. Bila nivo berada ditengah berarti Sumbu Satu dalam keadaan tegak.
5. Nivo tabung adalah penunjuk apakah garis bidik sejajar garis nivo atau tidak. Bila gelembung nivo berada di tengah atau nivo U membentuk huruf U, berarti garis bidik sudah sejajar garis nivo.
6. Pemokus diafragma, berfungsi untuk memperjelas keadaan benang diafragma.
7. Skrup pemokus bidikan, berfungsi untuk mengatur agar sasaran yang dibidik dari teropong terlihat dengan jelas.
8. Tiga skrup pendatar, berfungsi untuk mengatur gelembung nivo kotak
9. Skrup pengatur nivo U, berfungsi untuk mengatur nivo U membentuk huruf U
10. Skrup pengatur gerakan halus horizontal, berfungsi untuk menepatkan bidikan benang difragma tegak tepat disasaran yang dibidik
11. Sumbu tegak atau sumbu satu (tidak nampak), berfungsi agar teropong dapat diputar kea rah horizontal
12. Lingkaran horizontal berskala yang berada di badan alat berfungsi sebagai alat bacaan sudut horizontal
13. Lubang tempat membaca sudut horizontal.
14. Pemokus bacaan sudut, berfungsi untuk memperjelas skala bacaan sudut



Gambar 4 bagian luar dari sipat datar



Gambar 12 bagian dalam dari Sipat Datar















Alat Bantu Ukur Tanah

Meteran
Meteran, sering disebut pita ukur atau tape karena biasanya dibuat dalam bentuk pita dengan panjang tertentu.




Fungsi
Fungsi utama dari meteran ini adalah untuk mengukur jarak atau panjang
















Kompas
Kompas adalah alat dengan komponen utamanya jarum bermagnet. Salah satu ujung jarumnya dibuat dari magnet, sehingga dalam keadaan bebas jarum magnit dapat bergerak bebas ke arah horizontal utara atau selatan. Kompas yang lebih baik dilengkapi dengan pembidik, dan cairan untuk menstabilkan gerakan jarum dan alat pembidik atau pisir.





Fungsi
Fungsi utama dari kompas adalah untuk mengetahui arah mata angin.
Penentuan arah dari satu titik ke titik lain, yang ditunjukkan oleh besarnya sudut, yaitu besarnya sudut yang dimulai dari arah utara atau selatan.
Mengukur sudut horizontal
Membuat sudut siku-siku.

Jenis Kompas
Secara umum kompas dapat dikelompokan kedalam 2 jenis, yaitu :
- Kompas tangan, yaitu kompas yang pada saat digunakan bisa dipegang dengan tangan
- Kompas statif, yaitu kompas yang pada saat digunakan perlu dipasang pada kaki tiga atau statif. Salah satu contoh kompas ini adalah kompas Bousol





Tripod (Statif)





Gambar Pengatur Statif

Fungsi utama statif adalah untuk menstabilkan alat yang dipasang, dengan pengaturan yang tepat akan diperoleh statif yang stabil.







BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari makalah yang kami susun dapat disimpulkan bahwa seorang pengguna harus mengetahui cara penggunaan dan pemasangan alat ukur serta mengetahui alat bantunya:
Dalam penggunaan alat ukur tanah, penggunaan waterpass dan theodolit harus diperhatikan benar langkah – langkahnya agar tidak terjadi kesalahan. Adapun langah – langkahnya adalah sebagai berikut:
(a) Memasang alat dengan tripod
(b) Mendirikan Alat
(c) Men-set alat serta meneliti
(d) Membidikan Alat
(e) Membaca Hasil Pembidikan

2. Kesalahan – kesalahan yang umumnya terjadi pada saat pengukuran antara lain:
(a) Kesalahan pengguna
(b) Kesalahan pita ukur yang sering dipakai
(c) Kesalahan yang bersumber dari alam, yaitu:
- Pengaruh sinar matahari, pengaruhnya menyebabkan pita ukur mengalami pemuaian maka diperlukan alat peneduh seperti payung
- Pengaruh cuaca (angin dan hujan), angina dapat menggoyahkan tripod dan hujan dapat membasahi tabung nivo yang akan membuat perbedaan pengukuran.









Daftar Pustaka

Frick, Heinz. Ilmu dan Alat Ukur Tanah, 1984, Kanisius: Yogyakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_ukur_tanah
http://geocis.indonetwork.co.id/sell
http://www.ziddu.com/download/1525974/Fisika-AlatUkur.zip.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_ukur_tanah
http://id.wikipedia.org/wiki/Geodesi

Minggu, 01 November 2009

Banjir, Penyebab, dan Solusinya

RINGKASAN EKSEKUTIF
Banjir yang terjadi pada awal tahun 2002 hampir merata terjadi di daerah pantai
utara pulau Jawa. Didasari oleh keinginan untuk memberikan sumbangsih solusi banjir,
maka BTP DAS Surakarta melakukan investigasi di tiga lokasi sampel yaitu DAS
Ciliwung (Bogor - Jakarta), DAS Lampir (Batang – Jawa Tengah) dan DAS Sampean
(Bondowoso – Jawa Timur). Berdasarkan investigasi yang dilengkapi dengan hasil-hasil
kajian yang berkaitan dengan banjir maka disusunlah suatu paper tentang Banjir,
Penyebab dan Solusinya.
Berdasarkan fakta di lokasi sampel dan hasil kajian maka dapat diidentifikasi
beberapa penyebab banjir secara biofisik mencakup :
1. Curah hujan tinggi
2. Karakteristik DAS yang responsive terhadap banjir
3. Penyempitan saluran drainase
4. Perubahan penutupan lahan
Sedangkan secara sosial ekonomi dan budaya, banjir disebabkan :
1. Tidak tegasnya penegakan hukum
2. Perilaku masyarakat yang kurang sadar akan lingkungan
3. Timpangnya pembangunan
Curah hujan saat terjadinya banjir merata di semua tempat dan dengan intensitas
yang tinggi. Curah hujan harian berkisar dari 100 sampai 200 mm. Dengan curah hujan
yang begitu tinggi, vegetasi penutup yang ada tidak lagi bisa mengendalikan aliran
permukaan. Kondisi ini didukung oleh karakteristik DAS yang sangat terjal di daerah
hulu dan tiba-tiba menjadi datar di daerah hilir. DAS menjadi sangat responsive dalam
mengalirkan aliran permukaan. Di daerah hilir dengan perkembangannya yang sangat
pesat menyebabkan saluran drainase yang ada sudah tidak dapat lagi menampung aliran
permukaan yang dihasilkan di daerah hulu maupun daerah hilir sendiri. Akibatnya aliran
meluap menggenangi daerah di sekitarnya. Dengan semakin pesatnya pertumbuhan
penduduk maka perubahan penggunaan lahan hampir tidak dapat dihindari. Perubahan
penggunaan lahan tersebut dapat berupa perubahan dari lahan bervegetasi menjadi lahan
pemukiman ataupun dari tanaman keras menjadi tanaman semusim. Jika kondisinya tidak
berubah maka banjir akan terus terjadi dan makin besar, baik intensitasnya maupun luas
genangannya. Dari empat faktor fisik yang menyebabkan banjir, dua yang pertama sangat
sulit dirubah, sedangkan kesempatan merubah tinggal dua yang terakhir yaitu perbaikan
saluran drainase dan penanganan perubahan penggunaan lahan. Dari faktor sosial,
ekonomi dan budaya sebetulnya dapat dirubah semuanya tetapi membutuhkan kemauan
yang kuat dari semua elemen masyarakat dan durasi yang relatif lama.
Untuk penanganan bajir direkomendasikan menggunakan dua tahapan yaitu
jangka pendek dan jangka panjang
ii
A. Jangka Pendek
1. Peningkatan kapasitas saluran drainase, dengan cara :
- Melarang bangunan di bantaran sungai
- Melebarkan dan memperlancar saluran drainase
2. Pembuatan dam penahan atau embung di daerah hulu yang disesuaikan dengan
kondisi geologisnya.
3. Mempertahankan situ-situ yang ada dan membangun kembali situ yang berubah
fungsi bila memungkinkan.
4. Pembuatan sumur resapan pada daerah-daerah hulu yang berstruktur geologi
bukan kapur.
5. Melakukan rehabilitasi daerah tangkapan air dengan lebih meningkatkan
aktivitas Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).
6. Meningkatkan upaya penegakan hukum dan peraturan yang berkaitan dengan
lingkungan khususnya banjir.
Misal :
- Pelarangan bangunan di bantaran sungai
- Peraturan pembuangan sampah di sungai
- Kewajiban membuat resapan di perumahan
- Penerapan tata ruang yang ditetapkan secara lebih ketat
- Pembatasan secara ketat perubahan penggunaan lahan
B. Jangka Panjang
1. Penataan sistem kelembagaan pengelolaan DAS sehingga dapat diciptakan
kontrol sosial tentang perencanaan dan implementasi yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS.
2. Pengembangan hutan rakyat di DAS bagian hulu untuk meningkatkan fungsi
hutan dalam hal pengendalian banjir.
3. Mengupayakan pemerataan pembangunan untuk mengurangi konsentrasi
penduduk di perkotaan.
4. Menyusun strategi penyuluhan lingkungan bagi masyarakat terdidik.
Beberapa catatan tentang upaya penanganan banjir yang perlu diperhatikan :
a. Banjir harus diakui terlebih dahulu sebagai fenomena yang dapat terjadi dan bukan
hanya gejala alam. Untuk itu banjir tidak perlu ditakuti tetapi harus disikapi dan
diupayakan penanganannya.
b. Diperlukan pengembangan kesadaran pada seluruh pihak terkait (institusi birokrasi,
institusi politik dan sektor swasta) untuk memberikan perhatian khusus terhadap
fenomena banjir dan mengupayakan penanganannya sesuai bidangnya.
iii
KATA PENGANTAR
Bencana banjir terutama di Pulau Jawa yang terjadi pada awal tahun 2002
mengingatkan kita bersama akan kepedulian terhadap turunnya kualitas lingkungan
dalam DAS. Menanggapi hal tersebut maka BTP DAS Surakarta yang mempunyai
Tupoksi berkaitan dengan pengelolaan DAS merasa sangat perlu untuk memberikan
kontribusi bagi solusi persoalan banjir. Untuk itulah maka disusun paper yang berjudul
Banjir, Penyebab dan Solusinya.
Paper ini disusun berdasarkan ekstraksi hasil kajian yang pernah dilakukan BTP
DAS Surakarta dan dilengkapi dengan hasil investigasi Tim Peneliti BTP DAS Surakarta
pada tiga lokasi sampel yaitu DAS Ciliwung (Jakarta dan Bogor), DAS Lampir (Batang –
Jawa Tengah) dan DAS Sampean (Bondowoso – Jawa Timur). Ringkasan paper ini kami
susun untuk dapat dijadikan Policy paper tentang masalah tersebut.
Kami sadar bahwa pokok bahasan yang ada pada paper ini belum dapat mencakup
seluruh perspektif yang ada. Oleh karena itu kami meminta kepada tiga pakar untuk
memberikan bahasannya dari perspektif yang berbeda yaitu dari Aspek Lingkungan,
Aspek Bencana Alam dan Aspek Sosiologi. Presentasi paper ini telah dilakukan dalam
format Diskusi Panel dan dihadiri instansi terkait dengan kehutanan, LSM Lingkungan
dan para pemerhati lingkungan. Agar informasi ini dapat efektif sampai ke masyarakat
luas maka kegiatan ini juga diliput pers dan hasil liputannya telah dimuat pada Harian
Kompas, Jawa Pos, Solo Pos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat serta RRI Surakarta.
Pemaparan paper ini juga dikaitkan dengan peringatan Hari Bakti Departemen Kehutanan
yang ke 19.
Semoga paper ini dapat bermanfaat untuk mengatasi masalah banjir dan sesuai
yang dimaksudkan yaitu sebagai bahan masukan kebijakan lebih lanjut.
Surakarta, Maret 2002
KEPALA BALAI,
Ir. C. NUGROHO S. PRIYONO, M.Sc.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN EKSEKUTIF…………………….………...………….……. i
KATA PENGANTAR …………………………………...…………………. iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… iv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… v
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN ……………………………………………….… 1
II. PENYEBAB BANJIR…...…………………………………………. 3
2.1. Curah Hujan……………………………………………………. 3
2.2. Karakteristik DAS……………………………………………… 6
2.3. Saluran Drainase……………………………………………….. 11
2.4. Perubahan Penggunaan Lahan………………………….………. 15
2.5. Masalah Kependudukan dan Kelembagaan Pengelolaan DAS…. 22
III. SOLUSI BANJIR…………………………………………………….. 24
3.1. Jangka Pendek……..………….………………………………… 24
3.2. Jangka Panjang….. ……………………………………………... 25
IV. PENUTUP………. ……………………………………………….…. 26
DAFTAR PUSTAKA.……………………………………………………… 27
Pokok -Pokok bahasan dari Prof.Drs Indro Wuryatno, MSi............................ 28
Pokok -Pokok bahasan dari Prof.Dr. Sunyoto Usman..................................... 30
Pokok -Pokok bahasan dari Drs Suiyono, MSi ( Mewakili Prof. Dr
Sutikno)............................................................................................................
33
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Curah hujan harian di daerah Bogor, Batang, dan
Situbondo pada Bulan Januari – Februari 2002……... 4
Gambar 2 Curah Hujan Bulanan Rata-rata dan Saat Banjir di Bogor 5
Gambar 3 Curah Hujan Bulanan Rata-rata dan Saat Banjir di
Batang……………………………………………………. 5
Gambar 4 Curah Hujan Bulanan Rata-rata dan Saat Banjir di
Situbondo………………………………………………… 6
Gambar 5 Klas Kemiringan Lereng Masing-masing DAS Kajian 7
Gambar 6 DAS Ciliwung dan Sekitarnya…………………………... 8
Gambar 7 DAS Lampir dan Sekitarnya…………………………….. 9
Gambar 8 DAS Sampean…………………………………………… 10
Gambar 9 Perbandingan antara Saluran Drainase yang Dibutuhkan
dan yang Ada di Lapangan………………………………. 11
Gambar 10 Profil Melintang Sungai Ciliwung………………………. 12
Gambar 11 Pemukiman di Bantaran Sungai Ciliwung………………. 12
Gambar 12 Saringan Sampah Teluk Gong…………………………… 13
Gambar 13 Tanggul Jebol Akibat Kelebihan Debit…………………. 14
Gambar 14 Penggunaan Lahan pada DAS Ciliwung, Lampir, dan
Sampean………………………………………………….. 15
Gambar 15 Lokasi Penebangan Hutan PT Perhutani di DAS
Sampean………………………………………………….. 18
Gambar 16 Areal Persawahan di Lereng Terjal……………………… 19
Gambar 17 Hutan Rakyat dan Tunggul Bekas Tebangan……………. 21
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto kegiatan diskusi.......................................................... 35
Lampiran 2. Kliping dari harian Solo Pos.............................................. 37
Lampiran 3. Kliping dari harian Kedaulatan Rakyat.............................. 38
Lampiran 4. Kliping dari harian Suara Merdeka.................................... 39
Lampiran 5. Kliping dari harian kompas dan Jawa Pos ........................ 40
Lampiran 6. Kliping dari harian Solo Pos.............................................. 41
Lampiran 7. Topik-Topik Penelitian Pasca Banjir …………………… 42
DEPARTEMEN KEHUTANAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
BALAI TEKNOLOGI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN
SUNGAI
Jl. A.Yani – Pabelan P.O.BOX 295 Surakarta 57102
Telp/Fax: 0271 – 716709/716959 email: btpdassl@solo.wasantara.net.id
BANJIR, PENYEBAB DAN SOLUSINYA
Oleh:
Tim BTPDAS Surakarta
Ekspose Hasil Kajian Dalam Rangka
Memperingati Hari Bakti Kehutanan Tahun 2002
20 MARET 2002
Banjir, Penyebab dan Solusinya
1
I. PENDAHULUAN
Banjir besar yang terjadi hampir bersamaan di beberapa wilayah di
Indonesia telah menelan korban jiwa dan harta benda. Kerugian mencapai
trilyunan rupiah berupa rumah, harta benda, ternak, lahan pekarangan, lahan
pertanian dan sarana umum termasuk jalan, jembatan, dll.
Menyoroti masalah banjir yang terjadi tahun 2002, khususnya di P. Jawa,
terlihat lokasi-lokasi yang tertimpa banjir merupakan wilayah bagian Utara
dengan bentuk lahan yang khas, yaitu lereng pegunungan yang terus
bersambungan dengan areal landai di wilayah pantai. Kondisi bentuk lahan yang
demikian memiliki kecenderungan aliran permukaan berkecepatan tinggi pada
daerah pegunungan dan dengan cepat menggenangi daerah yang landai.
Curah hujan yang tinggi di wilayah dengan topografi demikian
menyebabkan potensi banjir sangat besar, sebagaimana yang terjadi pada akhir
Januari 2002 yang menggenangi seluruh Jakarta tidak terkecuali daerah yang
selama ini disebut daerah bebas banjir. Pada saat itu, ketinggian air di berbagai
pintu air melebihi batas normal, terutama aliran yang berasal dari sungai
Ciliwung, Cisadane maupun Pesanggrahan yang merupakan 3 dari 13 sungai
besar yang mengalir ke Jakarta.
Derasnya urbanisasi ke wilayah Jakarta telah memacu perkembangan
pemukiman yang cenderung menyimpang dari RUTRK dan konsep pembangunan
yang berkelanjutan. Banyaknya kawasan-kawasan rendah (rawa, danau) yang
semula berfungsi sebagai tempat penampung air serta bantaran sungai yang
berubah menjadi pemukiman, ditambah dengan kebiasaan masyarakat yang
membuang sampah ke sungai makin memperburuk kondisi ini.
Di Jawa Tengah, daerah langganan banjir meliputi Kendal, Demak,
Batang, Pekalongan dan Pemalang. Walaupun daerah-daerah tersebut merupakan
daerah yang rutin banjir pada waktu musim hujan, namun pada tahun ini banjir
yang terjadi di Batang (DAS Lampir) cukup besar. Pada saat terjadinya banjir 17
Pebruari 2002 di Batang, curah hujan yang tercatat pada stasiun hujan Subah
mencapai 390 mm. Suatu kondisi hujan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Banjir, Penyebab dan Solusinya
2
Pada tanggal 4 Februari 2002 di Situbondo dan seluruh wilayah
Bondowoso terjadi hujan deras disertai angin kencang hingga malam hari yang
kemudian menyebabkan longsor dan banjir. Pada malam hari tanggal 5 Februari
2002, dam kali Sampean jebol. Keadaan ini diperparah dengan ambrolnya jalan
yang menghubungkan Situbondo dan Bondowoso.
Jika dilihat dari akar permasalahan, banjir yang terjadi di tiga tempat
tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor biofisik yang meliputi curah hujan
tinggi dan bentuk lahannya, tetapi juga sangat terkait dengan masalah sosial,
ekonomi dan politik. Secara teknis masalah tersebut menyebabkan perubahan
penggunaan dan penutupan lahan sehingga mengakibatkan fungsi resapan pada
daerah hulu dan fungsi atusan pada daerah tengah dan hilir tidak berfungsi
optimal.
Sebetulnya upaya pemerintah untuk menanggulangi permasalahan
tersebut telah banyak dilakukan. Sebagai contoh telah diterbitkannya PP No. 13
tahun 1963 tentang Penertiban Pembangunan di Kawasan sepanjang jalan antara
Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur dalam bentuk hukum khusus yang kemudian
disempurnakan dengan Keppres No. 48 tahun 1983 yang diperbaharui dengan
Keppres No. No. 79 tahun 1985 tentang Penetapan RUTR Kawasan Puncak.
Demikian pula penggunaan lahan masing-masing DAS telah dibuatkan
pokok penggunaan lahannya, mulai dari zone pelindung, zone penyangga sampai
zone budidaya. Pasal 50 UU No. 41 tahun 1999 melarang setiap orang melakukan
penebangan kiri-kanan sungai, waduk atau danau atau mata air. Akan tetapi
tampaknya belum ditaati sepenuhnya oleh masyarakat.
Berbagai investigasi, seminar, dan diskusi sudah dan sedang dilakukan
untuk mengetahui penyebab banjir dan solusinya. Untuk melengkapi informasi
yang ada, sesuai dengan Tupoksinya BTPDAS Surakarta mencoba menggali akar
permasalahan penyebab banjir serta solusinya. Makalah ini merupakan hasil studi
di tiga lokasi banjir, yaitu Jakarta, Batang dan Situbondo-Bondowoso yang
diharapkan mewakili kondisi banjir di Pulau Jawa.
Banjir, Penyebab dan Solusinya
3
II. PENYEBAB BANJIR
Banjir pada hakekatnya hanyalah salah satu output dari pengelolaan DAS
yang tidak tepat. Bencana banjir menjadi populer setelah dalam waktu yang
hampir bersamaan (akhir bulan Januari 2002) beberapa kota dan kabupaten di
Indonesia terpaksa harus mengalami bencana ini. Bahkan, DKI Jakarta yang
notabene merupakan ibukota negara tercinta Republik Indonesia, terpaksa harus
terendam air. Sudah tentu kerugian yang harus diderita oleh masyarakat sangatlah
besar. Parahnya, setelah air menyurut muncul berbagai macam penyakit yang
mengancam kehidupan manusia, misalnya leptosirosis yang saat ini menjadi
momok perkampungan kumuh di Jakarta.
Dari hasil investigasi Tim Peneliti BTP DAS di tiga DAS di Pulau Jawa,
yaitu DAS Ciliwung, Lampir, Sampean, disimpulkan bahwa bencana banjir secara
fisik disebabkan oleh (1) curah hujan yang tinggi, (2) karakteristik DAS itu
sendiri, (3) penyempitan saluran drainase, (4) perubahan penutupan lahan. Dari
keempat tersebut 2 (dua) penyebab pertama berada diluar kemampuan manusia
untuk dapat melakukan intervensi. Artinya, dua penyebab pertama merupakan
keadaan ‘given’ dari suatu DAS. Manusia dalam hal ini hanya mampu atau
mungkin untuk melakukan intervensi pada dua penyebab yang terakhir. Namun
demikian, untuk dapat melakukan intervensi yang tepat perlu terlebih dahulu
diketahui akar permasalahannya yang melatarbelakangi penyebab tersebut.
Dengan demikian , ‘resep’ yang diberikan tidak sekedar ‘penyembuh’ sementara,
tetapi bersifat berkelanjutan.
2.1. Curah hujan
Bulan Januari adalah bulan dimana biasanya terjadi curah hujan yang
cukup tinggi dan terjadi sejak awal bulan. Kondisi ini menyebabkan tanah
menjadi jenuh dengan air sehingga pada saat hujan deras terjadi pada akhir bulan
maka sebagian besar hujan tersebut langsung menjadi aliran permukaan yang
kemudian menyebabkan banjir di daerah hilir. Curah hujan masing-masing daerah
banjir dapat dilihat pada Gambar 1.
Dari Gambar 1 terlihat bahwa banjir yang terjadi sesuai dengan hujan
maksimum. Sebagai contoh, banjir pertama di darah Jakarta terjadi pada tanggal
Banjir, Penyebab dan Solusinya
4
18 Januari 2002 disebabkan oleh hujan sebesar 105 mm/hari, kemudian banjir
kedua terjadi pada tanggal 30 Januari 2002 disebabkan oleh hujan sebesar 143
mm/hari.
Gambar 1. Curah hujan harian di daerah Bogor, Batang, dan Situbondo
Pada Bulan Januari – Februari 2002
Di daerah Situbondo, banjir pertama terjadi pada tanggal 30 Januari 2002
disebabkan oleh hujan sebesar 120 mm/hari, kemudian banjir kedua terjadi pada
tanggal 5 Februari yang disebabkan oleh hujan sebesar 150 mm/hari.
Banjir di daerah Batang terjadinya agak belakangan. Banjir disini mulai
tanggal 4 Februari 2002 dengan curah hujan sebesar 180 mm/hari, kemudian
disusul banjir kedua tanggal 6 Februari 2002 dengan curah hujan sebesar 130 mm,
dan terakhir banjir ketiga pada tanggal 16 Februari 2002 dengan curah hujan 190
mm/hari.
Curah hujan yang terjadi pada bulan Januari dan Februari 2002 sudah jauh
melebihi dari curah hujan rata-rata yang terjadi. Gambar 2, 3, dan 4 menunjukkan
curah hujan rata-rata dan saat kejadian banjir.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
1
5
9
13
17
21
25
29
2
6
10
14
18
22
26
Tanggal
Jumlah Hujan (mm)
Situbondo Batang Bogor
Banjir, Penyebab dan Solusinya
5
Gambar 2. Curah Hujan Bulanan Rata-rata dan Saat Banjir di Bogor.
Gambar 3. Curah Hujan Bulanan Rata-rata dan Saat Banjir di Batang.
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Curah Hujan (mm)
Rata-rata
2002
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Curah Hujan (mm)
Rata-rata
2002
Banjir, Penyebab dan Solusinya
6
Gambar 4. Curah Hujan Bulanan Rata-rata dan Saat Banjir di Situbondo.
Jika dilihat dari rata-rata bulanannya maka banjir yang terjadi di Jakarta
disebabkan oleh peningkatan hujan sebesar 56 persen, sedangkan di Batang terjadi
peningkatan hujan sebesar 189 persen, dan di Situbondo terjadi peningkatan hujan
sebesar 62 persen.
2.2. Karakteristik DAS
Karakteristik DAS meliputi bentuk dan kemiringan lereng. Berdasarkan
hasil tinjauan di lapangan, karakteristik DAS di tiga lokasi kajian menunjukkan
adanya persamaan yaitu daerah hulu sampai daerah tengah dengan kelerengan
yang terjal sedangkan daerah tengah sampai hilir sangat datar dan luas.
Berdasarkan karakteristik demikian, begitu hujan jatuh maka air hujan dari
daerah hulu langsung mengalir ke bawah dengan waktu konsentrasi yang singkat.
Jika drainase daerah hilir kurang memadai maka aliran permukaan tersebut akan
menyebar kemana-mana menggenangi daerah pemukiman dan jalan. Kelas
kemiringan lereng masing-masing DAS kajian dapat dilihat pada Gambar 5.
Masing-masing DAS mempunyai bentuk yang berbeda sehingga respon terhadap
hujan juga berbeda-beda. Untuk bentuk DAS yang memanjang respon hujan
0
500
1000
1500
2000
2500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Bulan
Curah Hujan
Rata-rata
2002
Banjir, Penyebab dan Solusinya
7
menjadi banjir lebih lambat daripada bentuk DAS yang membulat. Bentuk
masing-masing DAS kajian dapat dilihat pada gambar 6, 7 ,dan 8.
Gambar 5. Klas Kemiringan lereng masing-masing DAS Kajian
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0-8 8-15 15-25 25-40 >40
Kelas
Persen
Ciliwung
Lampir
Sampean
Banjir, Penyebab dan Solusinya
8
Gambar 6. DAS Ciliwung dan sekitarnya.
Banjir, Penyebab dan Solusinya
9
Gambar 7. DAS Lampir dan sekitarnya.
Banjir, Penyebab dan Solusinya
10
Gambar 8. DAS Sampean.
Banjir, Penyebab dan Solusinya
11
2.3. Saluran Drainase
Saluran drainase memiliki peran sangat penting sebagai jalan bagi air
untuk sampai ke laut yang merupakan tujuan akhir dari air yang mengalir. Seperti
halnya jalan, kapasitas saluran drainase haruslah sesuai dengan volume air yang
akan disalurkannya. Banjir yang terjadi di ketiga daerah kajian juga dipicu oleh
kurang memadainya saluran drainase. Di beberapa tempat volume saluran
drainase mengalami penyusutan karena beberapa hal, yaitu semakin banyaknya
masyarakat yang terpaksa bermukim di bantaran sungai, masih berkembangnya
perilaku membuang sampah di sungai, pembuatan saluran drainase yang di bawah
volume air limpasan, pengusahaan bantaran sungai sebagai areal pertanian, dan
kondisi fisik palung sungai. Gambar 9 menunjukkan perbandingan antara
kapasitas saluran drainase yang dibutuhkan dan yang ada di lapangan.
Gambar 9. Perbandingan antara saluran drainase yang dibutuhkan dan yang ada
di Lapangan
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Cengkareng Drain
Mookaervaart
Angke
Banjir Kanal Barat
Ciliwung
Krukut
Banjir Kanal Timur
Cipinang
Sunter
Buaran
Cakung
Debit (m3/dt)
Dibutuhkan
Yang Ada
Banjir, Penyebab dan Solusinya
12
Kasus di Jakarta:
Pemukiman di Bantaran Sungai
Semakin membengkaknya penduduk Jakarta akhirnya berimbas pada semakin meningkatnya
kebutuhaan akan tempat tinggal. Sayangnya luas lahan yang tersedia untuk pemukiman di Jakarta tidak
mampu memenuhi besarnya kebutuhan masyarakat. Akibatnya, hukum ekonomi lah yang berjalan.
Harga tanah semakin mahal. Terlebih harga ruumah. Bagi kaum pendatang yang sebagian besar bekerja
di sektor informal, untuk memiliki rumah yang layak huni sangatlah jauh dari jangkauan kantong
mereka. Akhirnya, pilihan mereka hanyalah bantaran sungai yang tidak berpenghuni. Masuk akal juga
sebenarnya pilihan ini. Membangun rumah di bantaran sungai tidak memerlukan pembangunan sarana
MCK yang mahal. Cukup dengan memanfaatkan air sungai sebagai sarana MCK.
Ketidaktegasan Pemda DKI dan semakin besarnya penduduk Jakarta, permukiman di bantaran
sungai semakin padat pula. Akibatnya, seperti sudah diduga oleh banyak pakar sungai, semakin
memperkecil volume saluran drainase. Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta,
Sungai Ciliwung yang memliki lebar 65 meter, saat ini menyempit menjadi 15 s/d 20 meter akibat
permukiman liar di bantaran sungai tersebut.
Gambar 10. Profil Melintang Sungai Ciliwung
Sementara itu laporan yang dikeluarkan oleh Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, lokasi bantaran
sungai yang penuh dengan bangunan adalah sebagai berikut :
1 Waduk Pluit, Jakut
2 Banjir Kanal, Jakut
3 Kali Angke, Kapuk Muara, Jakut
4 Kali Ciliwung-Manggarai, Jaktim-Jaksel
5 Kali Pesanggrahan, Jakbar
6 Kali Cipinang, Besar dan Muara, Jaktim
7 Kali Sunter, Jakut-Jaktim
8 Kali Mampang, Pondok Karya, Jaksel
9 Kali Krukut, Blok P, Jaksel
10 Kali Cideng, MBAU Pancoran, Jaksel
11 Anak Kali Ciliwung Kota (belakang RS Husada), Jakbar
Kotak 1
Pada Kotak 1 tampak jelas bahwa permukiman di bantaran sungai di
Jakarta memiliki peran yang sangat besar dalam penyempitan saluran drainase.
Namun demikian, masalah permukiman di bantaran sungai juga bernuansa sosial.
Artinya, untuk memahami perlu penelusuran faktor-faktor yang melatarbelakangi
semakin berkembangnya pemukiman di kawasan tersebut.
Gambar 11. Pemukiman di Bantaran
Sungai Ciliwung
Banjir, Penyebab dan Solusinya
13
Sebenarnya secara tegas di dalam peraturan perundangan (UU Pengairan
dan UU Kehutanan) disebutkan bahwa di kawasan kanan-kiri sungai sejauh 50
meter adalah kawasan lindung yang tidak boleh diganggu gugat. Sayangnya
peraturan ini hanya ‘garang’ di atas kertas. Pemerintah seringkali tidak bertindak
tegas ketika mulai terlihat adanya gelagat pembangunan di bantaran sungai.
Pemerintah baru bertindak setelah setelah kawasan tersebut telah menjadi
permukiman yang padat. Akibatnya konflik antara pemerintah dengan masyarakat
setempat tidak dapat dihindari.
Pada sisi lain, dalam hal ini dari sudut pandang masyarakat penghuni
permukiman liar di bantaran sungai, membangun rumah di kawasan tersebut
karena tidak adanya pilihan. Mereka datang ke kota karena memang sampai saat
ini baru kota, misal Jakarta, yang memungkinkan mereka dapat mencari nafkah.
Pendatang yang sebagian besar berasal dari berbagai daerah pedesaan di
Indonesia, tidak lagi dapat menggantungkan hidupnya di desa tempatnya berasal.
Lapangan kerja di desa semakin langka. Lahan pertanian yang sebelumnya
mereka miliki semakin menyempit. Bahkan, tidak sedikit yang memang tuna
lahan. Dengan demikian, sebenarnya fenomena pemukiman di bantaran sungai di
Jakarta adalah hasil dari masalah struktural yang melingkupi pembangunan di
Indonesia.
Gambar 12. Saringan sampah Teluk Gong
Hal lainnya yang turut serta dalam penyempitan saluran drainase adalah
kebiasan masyarakat yang suka membuang sampah ataupun limbah domestik ke
sungai. Sudah merupakan pemandangan yang biasa, apabila pintu-pintu air di
berbagai daerah di Indonesia tertutup penuh oleh sampah.
Banjir, Penyebab dan Solusinya
14
Menurut Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, setiap harinya sampah yang
masuk ke saluran drainase mencapai 800 meter kubik. Banyaknya sampah di
saluran drainase tidak hanya menambah pekerjaan bagi petugas pengairan untuk
mengangkut sampah, tetapi juga memerlukan biaya yang besar untuk
mengangkutnya ke tempat pembuangan sampah. Perilaku membuang sampah di
sungai tidak dimonopoli oleh warga Jakarta saja. Pada DAS lainnya yang menjadi
lokasi investigasi Tim BTPDAS juga menemukan hal yang serupa.
Kecenderungan masyarakat membuang sampah di sungai pada dasarnya
merupakan perwujudan dari persepsi yang selama ini dianut oleh masyarakat
awam tentang sungai. Sebagian masyarakat masih memandang sungai sebagai
tempat pembuangan sampah. Alasannya sederhana. Masyarakat sebagian besar
masih belum mau untuk bersusah payah membuat lubang atau bak sampah atau
bahkan lebih jauh lagi memanfaatkan sampah untuk keperluan lain yang lebih
bermanfaat. Membuang sampah di sungai adalah cara paling cepat melenyapkan
sampah sebatas padangan mata si pelaku tanpa pernah peduli akibatnya bagi
masyarakat yang lain.
Kotak 2
Kasus di DAS Sampean
Sempitnya saluran drainase di Sungai Sampean khususnya di sekitar lokasi banjir (Kota
Situbondo) lebih disebabkan oleh faktor fisik sungai. Dari pengamatan daya tampung saluran di alur
Sungai Sampean di Kota Situbondo bagian Barat, dengan lebar ± 50 meter dan kedalaman 8 meter,
banjir pada tanggal 4 – 8 Februari 2002 telah menyebabkan muka air Sungai Sampean mencapai badan
jalan pada jembatan. Hal tampak dari adanya sisa serasah/sampah yang ada di jembatan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa muka air sungai pada saat terjadi banjir telah melebihi 8 meter
dalamnya. Menurut informasi yang berhasil diperoleh, muka air Sungai Sampean paling tinggi
mencapai 6.8 meter (18-1-1976) dan 5.7 meter (6-2-2000). Dengan muka air setinggi itu tidak sampai
menimbulkan banjir besar di hilir (Kota Situbondo). Kejadian banjir pada awal 2002 ini merupakan
banjir yang ekstrim terjadi di DAS Sampean, yang telah melebihi daya tampung saluran (palung
sungainya).
Gambar 13. Tanggul Jebol Akibat Kelebihan Debit
Banjir, Penyebab dan Solusinya
15
Pada pihak lain, perilaku masyarakat untuk terus membuang sampah di
sungai sama sekali tidak mendapat teguran ataupun sanksi baik dari masyarakat
lainnya atau bahkan pemerintah daerah sebagai penguasa wilayah. Sejauh ini
belum ada peraturan pemerintah yang secara khusus mengatur tentang sanksi
membuang sampah di sungai. Kekosongan aturan ini memberikan kebebasan
kepada masyarakat untuk terus melanjutkan perilakunya tanpa harus menakutkan
akan adanya sanksi yang akan diterima.
2.4. Perubahan penggunaan lahan
Dilihat dari segi curah hujan wilayah DAS dapat dibedakan menjadi 2
yaitu wilayah yang berfungsi sebagai wilayah peresapan dan wilayah yang
berfungsi sebagai wilayah pengatusan (drainase). Berfungsi atau tidaknya wilayah
tersebut akan sangat terkait dengan penggunaan lahan. Penggunaan lahan di 3
DAS yang diinvestigasi disajikan pada Gambar 7.
Gambar 14. Penggunaan Lahan pada DAS Ciliwung, Lampir, dan Sampean
Dari Gambar 14 terlihat bahwa prosentase hutan di DAS Ciliwung cukup
kecil, hanya 10 % dari luas DAS sedangkan prosentase pemukiman paling tinggi.
Berbeda dengan 2 DAS berikutnya DAS Sampean lebih banyak (36 %) hutan dan
lahan pertanian (sawah, tegal dan kebun), sedang DAS Lampir lebih banyak
sawah dan tegalan.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Hutan Sawah Tegal Perkebunan Pemukiman
Persen
Ciliwung
Lampir
Sampean
Banjir, Penyebab dan Solusinya
16
Padahal dalam UU No.41 Tahun 1999 minimal hutan dalam satu DAS
adalah 30 persen. Berdasarkan Gambar 14 tersebut yang memenuhi syarat hanya
DAS Sampean yang mempunyai hutan sekitar 36 persen dari luas DAS.
Walaupun DAS Sampean mempunyai hutan sebesar 36 persen namun banjir besar
juga masih terjadi. Dari kondisi tersebut terlihat bahwa keberadaan hutan tidak
mampu mencegah banjir. Hutan dapat mengurangi banjir hanya pada curah hujan
sedang (Dunne & Leopold. 1978). Pada curah hujan yang besar, hutan sudah tidak
mampu menguranginya. Namun demikian hutan dapat mengurangi erosi yang
menyebabkan pendangkalan di sungai atau saluran sehingga fungsi hutan ini lebih
menjaga saluran sungai agar lancar mengalirkan air (Dunne & Leopold. 1978).
Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Asdak (1995) yang menyebutkan bahwa
keberadaan hutan dapat dipandang sebagai kegiatan pendukung dari usaha lain
dalam menurunkan terjadinya banjir. Selain itu hutan berfungsi menjaga
kontinuitas aliran, karena hutan dapat mengatur tata air yaitu menampung air pada
musim penghujan dan mengalirkannya pada musim kemarau.
Selain perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke pemukiman dan dari
tanaman keras ke tanaman semusim, ada lagi perubahan penggunaan lahan yang
cukup signifikan menyebakan banjir yaitu penggunaan situ dan rawa untuk
pemukiman. Perubahan ini menyebabkan aliran permukaan dari bagian hulunya
tidak mempunyai tempat lagi untuk transit . Aliran permukaan akan langsung
mengalir dan menambah aliran dari sekitarnya sehingga menyebakan banjir atau
menggenangi pemukiman di daerah bekas situ atau rawa. Kawasan pemukiman
Pantai Indah Kapuk (PIK) dahulunya merupakan daerah berawa hutan manggrove
yang berfungsi untuk menampung air, kemudian diuruk dan dijadikan kawasan
pemukiman. Berdasarkan citra satelit 2002 retarding pond di kawasan PIK tinggal
sepertiganya (Kompas 7-2-2002). Contoh perubahan rawa menjadi pemukiman
yang sudah berlangsung lama adalah Rawa mangun, Rawa buaya, Rawa lembu,
Rawa sari dan sebagainya.
Kawasan resapan air di hulu DAS memiliki peran yang sangat penting
dalam siklus hidrologi di suatu DAS. Sayangnya, kebanyakan masyarakat awam
memahami DAS hanya sebatas pada air sungai yang mengalir. Padahal sistem
sungai adalah suatu hal yang sangat komplek dan terkait erat serta dipengaruhi
Banjir, Penyebab dan Solusinya
17
oleh berbagai faktor dari suatu DAS. Karenanya tidak mengherankan bila pada
saat ini banyak kawasan resapan air di hulu DAS telah mengalami perubahan
fungsi, misalnya menjadi pemukiman. Parahnya lagi, saat ini tercatat 58 DAS di
Indonesia dalam kondisi kritis1 (Pusat Data dan Informasi Publik, 2002).
Kotak 3
Menurut hasil penelitian yang telah banyak dilakukan oleh para pakar
hidrologi menyimpulkan bahwa hutan merupakan regulator air yang baik.
Berdasarkan penelitian selama 5 tahun di daerah dengan ketinggian 1.110 –
1,1838 m dpl di hulu DAS Ciwulan – Tasikmalaya, yang mewakili daerah hulu
sungai, dengan kondisi topografi curam sampai sangat curam dan bantuan induk
vulkanik, menunjukkan bahwa evapotranspirasi tegakan hutan tercatat 1.300 mm
1 Sesuai hasil survai Dep.PU dan Dep.Kehutanan pada 1992 tercatat sekitar 22 DAS yang kritis
dan super kritis, sedangkan survai 1998 membengkak menjadi 58 DAS.
Kasus di Kawasan Puncak
Penegakan Hukum
Tidak dapat dipungkiri bahwa sub DAS Ciliwung hulu, khususnya kawasan puncak adalah
kawasan yang eksotis. Hamparan perkebunan teh dan hawanya yang sejuk serta infrastruktur yang
mendukung di kawasan ini, mampu menawarkan daya tarik tersendiri. Sejak jaman kolonial Belanda,
Puncak telah menjadi tempat peristirahatan tuan-tuan Belanda. Saat sekarang pun, Puncak masih
merupakan tempat yang populer untuk beristirahat bagi warga ibukota. Karenanya, tidak mengherankan
jika di kawasan ini tumbuh menjamur vila-vila mewah, hotel, dan sarana prasarana pariwisata lainnya.
Bencana banjir yang terjadi akhir bulan Januari hingga awal Pebruari 2002 di Jakarta, telah
mendorong berbagai pihak yang terkait dengan pengelolaan DAS untuk kembali menengok ke sub DAS
ciliwung hulu. Seperti kejadian di masa lalu, berkali-kali Puncak menjadi tertuduh penyebab banjir di
Jakarta. Sayangnya, tuduhan ini tidak berlanjut pada tindak lanjut yang berupa perbaikan tata guna
lahan di kawasan Puncak. Bahkan, sejalan dengan perkembangan derap pembangunan carut marut tata
guna lahan semakin menjadi.
Sebenarnya dasar hukum penataan kawasan puncak, menurut Silalahi (2002), telah cukup
memadai, ketat, dan jelas, karena telah diatur secara khusus selama 40 tahun lebih, berturut-turut
dengan peraturan Presiden tahun 1963, yang diubah dan diperbaiki masing-masing dengan Keppres
No.48/1983 dan Keppres No.79 /1985. Peraturan ini juga diperkuat dengan peraturan perundangundangan
lainnya secara nasional maupun daerah. Namun, lagi-lagi dasar hukum ini sama sekali tidak
mampu menunjukkan kekuatannya setelah di lapangan. Hukum hanya kelihatan ‘garangnya’ di atas
kertas. Vila dan bangunan lainnya tetap dibangun tanpa peduli adanya peraturan yang membatasinya.
Persoalan Puncak memang rumit dan sangat kompleks. Di satu sisi, kawasan ini merupakan
kawasan wisata yang merupakan salah satu pemasok pendapat daerah terbesar. Pada sisi lain kawasan
ini juga merupakan kawasan lindung. Mempertemukan dua kepentingan ini memang tidak mudah.
Parahnya, euforia reformasi ternyata ikut pula berimbas pada kawasan ini. Lahan perkebunan teh PTP
Nusantara VIII/Gunung Mas yang masih dalam proses perpanjangan HGU, telah dimanfaatkan
masyarakat dengan menjarahnya. Menurut catatan terakhir, diperkirakan penjarahan lahan mencapai
600 hektar dan sekitar 200 diantaranya telah berubah menjadi arena permukiman dan vila (Kompas
12/03/2002).
Banjir, Penyebab dan Solusinya
18
per tahun sehingga dengan curah hujan 3.500 mm per tahun, maka hutan mampu
menyimpan air tanah 420 mm per tahun lebih banyak dibandingkan DAS
pertanian yang hanya mempunyai laju evapotranspirasi 600 mm per tahun
(Arifjaya, 2002). Meskipun demikian, akhir-akhir ini luasan hutan di DAS hulu
semakin menyusut. Ada beberapa hal yang disinyalir sebagai penyebabnya,
diantaranya penjarahan dan perambahan hutan serta ketidaktaatan baik aparat
pemerintah maupun masyarakat terhadap tataguna lahan yang telah disepakati dan
diatur dengan keppres. Kasus Puncak merupakan contoh yang sangat baik untuk
menggambarkan hal tersebut (lihat Kotak 3).
Problematika perubahan penutupan lahan yang tidak mengikuti kaidah
pengelolaan DAS yang benar ternyata sangat dipengaruhi pula oleh pemahaman
yang keliru atas teknologi konservasi tanah. Akibatnya, teknologi konservasi
tanah diterapkan tidak pada tempatnya. Misalnya, pada lahan-lahan yang terjal
yang hanya diperbolehkan untuk hutan oleh masyarakat tetap diusahakan untuk
usahatani tanaman semusim yang membutuhkan pengolahan lahan sangat intensif.
Meskipun masyarakat dalam berusahataninya telah menggunakan teknologi
konservasi tanah, namun erosi masih akan tetap tinggi. Apalagi bila teknik
pengolahan tanah diupayakan untuk mengurangi peresapan air ke dalam tanah,
misalnya sawah, maka yang akan terjadi adalah tidak adanya air yang meresap ke
dalam tanah ketika hujan turun, tetapi air langsung menjadi limpasan. Hal inilah
yang akhirnya menyebabkan banjir.
Gambar 15. Lokasi Penebangan Hutan PT Perhutani di DAS Sampean
Lokasi Penebangan
Hutan PT Perhutani
Banjir, Penyebab dan Solusinya
19
Pemahaman yang keliru ternyata tidak hanya dimonopoli oleh petani. PT
Perhutani yang merupakan satu-satunya perusahaan negara yang mendapat
mandat untuk mengelola hutan di Jawa, ternyata juga melakukan hal yang serupa.
Hutan yang berada di dalam suatu DAS, misal DAS Sampean, dalam
pemanenannya tidak memperhatikan karakteristik DAS yang menjadi tempat
tumbuhnya tegakan hutan. Memang sistem penebangannya mengikuti rotasi petak
sesuai dengan umur tegakan. Namun, sistem tebang habis yang dilakukan pada
satu petak tetap saja akan menyebabkan lahan pada petak tersebut menjadi gundul
dan memperbesar volume limpasan.
Kotak 4
Kasus di DAS Lampir dan DAS Sampean
Bertanam Padi di Lereng Terjal
Bagi masyarakat Batang dan Sampean berusahatani padi adalah hal biasa. Kebiasaan ini
diperolehnya dari nenek moyang dulu. Yang membedakan masyarakat Batang dan Sampean saat ini
dengan nenek moyangnya dulu adalah lokasi sawahnya. Saat ini, sangat mudah ditemui areal
persawahan di lereng-lereng terjal (25 - >45%). Memang mereka telah menggunakan teras dengan baik.
Bahkan saluran pembuangan airnya pun telah tertata dengan baik. Namun, sawah bukanlah peresap air
yang baik. Lahan sawah justru diolah menjadi kedap air untuk mempertahankan kondisinya semirip
mungkin dengan rawa yang merupakan habitat asli padi. Akibatnya, ketika hujan turun air hujan
langsung menjadi limpasan yang besar karena tidak dapat meresap ke dalam tanah. Limpasan air yang
besar ini selanjutnya tidak dapat ditampung oleh saluran drainase yang memang kapasitasnya kecil.
Akhirnya banjirlah yang terjadi.
Gambar 16. Areal Persawahan di Lereng Terjal
Secara ilmiah dan menurut tata guna lahan pada lereng yang terjal hanya boleh dimanfaatkan
untuk hutan yang berfungsi sebagai kawasan resapan. Dengan demikian perubahan penggunaan lahan
yang seharus hutan menjadi areal persawahan adalah kesalahan. Namun apabila kenyataan ini
konfrontasikan dengan perilaku masyarakat yang mencoba menerapkan teknolgi konservasi tanah, maka
hal tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya masyarakat telah memahami akan bahaya yang akan
terjadi setelah mereka melakukan perubahan lahan hutan menjadi sawah. Namun pemahaman yang
keliru tentang teknologi konservasi membuat masyarakat tetap membuka sawah di lereng yang terjal
dengan mengaplikasikan teknologi teras.
Banjir, Penyebab dan Solusinya
20
Masalah perubahan penutupan lahan menjadi rumit lagi apabila
dimasukkan pula unsur sumber pertumbuhan ekonomi suatu daerah dalam suatu
DAS. Seringkali ditemui dibeberapa daerah terjadi konflik kepentingan antara
ekonomi daerah dengan kelestarian lingkungan. Apalagi saat ini era otonomi
daerah yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur
daerahnya. Hal tersebut ternyata telah diartikan secara kurang bijaksana oleh
pemerintah daerah. Fokus perhatian lebih tertuju pada peningkatan Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Akibatnya, perhatian terhadap kelestarian lingkungan
menjadi terabaikan. Walaupun sebenarnya sebelum era otonomi daerah pun
pemerintah juga kurang perhatian terhadap lingkungan.
Konflik kepentingan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian
lingkungan semakin diperparah dengan adanya paradigma bahwa kepentingan
ekonomi dan kelestarian lingkungan adalah suatu hal yang tidak mungkin
dipertemukan. Keduanya merupakan trade-off yang harus diambil oleh
pemerintah. Padahal baik ekonomi maupun kelestarian lingkungan, keduanya
memiliki hubungan imbal balik yang sangat erat. Yang satu tidak dapat
mengabaikan yang lain. Bahkan, keduanya haruslah dilakukan seiring sejalan.
Pembangunan yang hanya ditopang dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tanpa memperdulikan kelestarian lingkungan hasilnya akan sia-sia. Pasalnya,
kerusakan lingkungan yang terjadi akibat pembangunan akan memerlukan biaya
yang mahal untuk penanganannya. Demikian juga halnya, kelestarian lingkungan
akan sangat sulit dicapai apabila masih banyak warga masyarakat yang miskin
dan bodoh.
Faktor lain yang tidak kalah hebatnya dalam mempengaruhi perubahan
penutupan lahan adalah pasar. Dalam masyarakat yang terbuka dan masuknya
ekonomi uang dalam kehidupan masyarakat, faktor pasar sangat mempengaruhi
perilaku masyarakat dalam mengusahakan lahannya. Masyarakat, khususnya
petani, akan mengusahakan lahannya untuk komoditas-komoditas yang
menguntungkan. Hutan rakyat yang merupakan salah satu strategi pemerintah
dalam rangka memperluas areal berhutan ternyata ikut terimbas oleh adanya
pasar. Ketika harga kayu tinggi, masyarakat berbondong-bondong merubah
lahannya menjadi hutan rakyat. Bahkan, yang saking antusiasnya lahan sawah pun
Banjir, Penyebab dan Solusinya
21
di ubah menjadi hutan sengon, pada saat harga sengon sedang melambung tinggi.
Sampai-sampai bibit sengon atau tanaman hutan lainnya sangat sulit dicari.
Namun, pada saat harga kayu jatuh petani beramai-ramai pula menebang tanaman
kayunya walaupun belum masak tebang.
Kotak 5
Seperti halnya dengan komoditas lainnya, dalam pasar kayu petani pun
tidak memiliki posisi tawar yang kuat karena tidak memiliki informasi pasar dan
tidak bersatu dalam suatu kelompok. Akibatnya, pengepul atau pedagang dapat
mempermainkan petani pada saat transaksi. Kelemahan posisi tawar petani ini
telah lama diketahui oleh pemerintah, tetapi sejauh ini pemerintah belum
melakukan tindakan yang bisa diterima oleh petani. Tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah baru sebatas pembentukan kelompok tani hutan rakyat yang
dipaksakan dan tidak mengakar. Potensi kelembagaan lokal yang telah dibangun
Kasus di DAS Sampean
Hutan Rakyat
Hutan rakyat di DAS Sampean sebenarnya telah berkembang dengan baik. Masyarakat telah
banyak mengusahakan lahannya untuk hutan rakyat. Tanaman sengon adalah salah satu tanaman hutan
yang populer di masyarakat. Menurut data BRLKT luas hutan rakyat di DAS Sampean mencapai 4.500
hektar.
Gambar 17. Hutan Rakyat dan Tunggul Bekas Tebangan
Saat ini luas hutan rakyat menyusut drastis. Sebagian besar petani menebang tegakan hutannya
karena harga kayu yang tidak menguntungkan menurut ukuran petani. Mereka telah merubah hutan
rakyat dengan tanaman perkebunan dan semusim. Menurut keterangan pihak dinas di daerah yang
menangani sektor kehutanan (dulu Dinas PKT) perbandingan antara tegakan hutan rakyat yang ditebang
dengan penanaman adalah 3:1, akan tetapi dinas tersebut sama sekali tidak berbuat apa-apa.
Banjir, Penyebab dan Solusinya
22
oleh masyarakat belum disentuh untuk dikembangkan lebih lanjut untuk
membantu posisi tawar petani.
2.5. Masalah Kependudukan dan Kelembagaan Pengelolaan DAS
Seperti telah diduga oleh banyak ahli lingkungan dan kependudukan.
Jumlah penduduk yang besar memiliki implikasi yang sangat serius terhadap
kualitas lingkungan khususnya DAS, apabila tidak dikelola dengan baik. Semakin
membengkaknya masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan semakin
ekstensif dan intensifnya pegunaan lahan di hulu DAS adalah indikasi yang sangat
nyata bahwa tekanan penduduk terhadap DAS telah sangat tinggi. Data yang
diperoleh selama investigasi di 3 DAS, yaitu DAS Ciliwung, Batang, dan
Sampean, mendukung hal tersebut2. Keadaan ini masih diperparah dengan
rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan.
Bahkan, sebagian masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan yang
relatif ‘cukup’ tinggi untuk dapat memahami sistem ekologi, ternyata justru
menjadi aktor utama kerusakan lingkungan. Pembangunan vila-vila mewah di
kawasan Puncak yang tidak menggunakan ijin IMB adalah contoh yang baik
untuk menerangkan fenomena ini. Demikian juga pembangunan perumahan di
beberapa situ di Jakarta dengan cara menimbunnya dengan tanah. Ini pun
didalangi oleh pihak-pihak yang semestinya sudah sangat paham dengan
kelestarian lingkungan.
Keruwetan masalah kependudukan yang berdampak pada kelestarian
lingkungan pada dasarnya merupakan wujud dari carut marutnya kelembagaan
pengelolaan DAS. Sampai dengan saat ini telah banyak instansi yang ikut terlibat
dalam pengelolaan DAS. Setidaknya Departemen Permukiman dan
Pengembangan Wilayah yang bertanggung jawab untuk kawasan DAS hilir dan
Departemen Kehutanan untuk kawasas DAS hulu. Selain itu pemerintah daerah
melalui dinas-dinas terkait juga terlibat aktif dalam pengelolaan DAS, misal Dinas
PKT. Ada juga pihak-pihak lain yang tidak ikut terlibat secara langsung dalam
pengelolaan DAS, tetapi aktivitasnya sangat mempengaruhi kondisi DAS,
2 Tekanan penduduk terhadap lahan di sub DAS Ciliwung hulu mencapai 2.80, dan DAS Sampean
mencapai 1.20
Banjir, Penyebab dan Solusinya
23
misalnya Departemen Pertanian, Departemen Pertambangan, dan lain-lain. Semua
stakeholder ini memiliki agendanya sendiri. Belum ada sistem kelembagaan
pengelolaan DAS yang dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan. Sistem
kelembagan pengelolaan DAS yang terpadu baru sebatas wacana. Pada tingkat
implementasi, para stakeholder tersebut tetap berpegang teguh dengan rencananya
masing-masing. Contoh yang sangat nyata dan terkait langsung dengan
Departemen Kehutanan adalah Pola dan Rencana Teknik Lapang Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah (RTL-RLKT). Alat perencanaan ini baru diadopsi
oleh Departemen Kehutanan sendiri sebagai pemrakarsanya. Instansi atau pihakpihak
lain tetap menggunakan alat perencanaannya tanpa mengacu atau
setidaknya mempertimbangkan Pola dan RTL RLKT. Akhirnya, pada tingkat
implementasi sangat sering ditemui aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para
stakeholder tersebut saling tumpang tindih dan bahkan dalam kasus-kasus tertentu
bertolak belakang dengan tujuan pengelolaan DAS.
Banjir, Penyebab dan Solusinya
24
III. SOLUSI BANJIR
3.1. Jangka Pendek
a. Peningkatan kapasitas saluran drainase
Kapasitas saluran drainase yang tidak memadai menyebabkan aliran sungai
meluap dan mengenangi daerah-daerah di sekitarnya. Salah satu cara untuk
mengurangi terjadinya luapan banjir adalah dengan meningkatkan kapasitas
saluran yang ada. Khusus untuk daerah Jakarta, misalnya, ukuran atau
kapasitas saluran drainase direncanakan sesuai dengan perkembangan
perubahan penggunaan lahan khususnya perkembangan pemukiman.
Meninggikan tanggul sungai di daerah hilir sehingga kapasitas saluran
menjadi bertambah dan aliran air tidak meluap merupakan contoh upaya
penyempurnaan drainase untuk kasus Situbondo. Sedangkan kasus Batang
memerlukan upaya pelurusan dan pelebaran.
b. Pembuatan dam penahan air dan mempertahankan situ-situ yang masih
ada
Salah satu cara untuk menghambat larinya air permukaan adalah dengan
membuat dam penahan air terutama di daerah hulu. Khusus untuk Jakarta
ditambah dengan mempertahakan situ-situ yang masih ada. Karena dengan
memfungsikan situ-situ yang ada berarti kita mengembalikan keseimbangan
air seperti sebelumnya.
c. Pembuatan sumur resapan
Khusus untuk daerah dengan pemukiman di daerah hulu dan tengah perlu
diterapkan peraturan yang ketat tentang kewajiban pembuatan sumur resapan.
Pembuatan sumur resapan pada prinsipnya adalah mempercepat aliran
permukaan menjadi aliran bawah permukaan (sub surface flow). Tindakan ini
walaupun yang diresapkan hanya sedikit tetapi kalau dilaksanakan oleh
seluruh pemilik rumah maka hasil air yang bisa di dirubah menjadi aliran
bawah permukaan akan sangat besar. Akibatnya banjir akan jauh berkurang
dan persediaan air tanah akan meningkat.
Banjir, Penyebab dan Solusinya
25
d. Rehabilitasi Daerah Tangkapan Air
Merehabilitasi daerah tangkapan air yang saat ini kondisinya kritis dengan
melakukan kegiatan reboisasi dan pengembangan hutan rakyat di lahan milik.
3.2. Jangka Panjang
a. Sistem kelembagaan pengelolaan DAS yang terpadu dan terintegrasi serta
berbasis pada masyarakat dengan memanfaatkan potensi-potensi yang telah
berkembang di masyarakat perlu dibangun, termasuk didalamnya komitmen
penegakan hukum.
b. Perlu adanya kebijakan perlindungan harga dan akses terhadap pasar bagi
usaha tani konservasi dan hutan rakyat sehingga masyarakat khususnya
petani agar lebih bergairah dalam melakukan usaha tani konservasi dan
hutan rakyat
c. Untuk mengurangi sentra penduduk, umumnya di pulau jawa, perlu adanya
pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia sehingga
pertumbuhan ekonomi tidak berpusat di pulau Jawa dan kota-kota besar.
Pembangunan yang merata akan mengurangi arus urbanisasi penduduk
yang dimotivasi oleh pencarian nafkah.
d. Perlu diupayakan rencana strategi penyuluhan lingkungan yang ditujukan
untuk masyarakat terdidik yang justru merupakan aktor utama perusak
lingkungan. Selain itu, bersamaan dengan hal tersebut perlu adanya
perubahan paradigma baik pada tingkat masyarakat maupun pemerintah
tentang pengelolaan DAS.
Banjir, Penyebab dan Solusinya
26
IV. PENUTUP
Dengan adanya kejadian banjir pada tahun 2002 ini mengingatkan kita
kembali bahwa pentingnya untuk melakukan pembangunan yang berwawasan
lingkungan. Keterlanjuran yang terjadi di Pulau Jawa jangan sampai terulang di
Pulau-pulau yang lain di Indonesia. Sedangkan untuk Pulau Jawa sendiri dengan
kondisi yang sudah parah jangan sampai diperparah lagi, kalau bisa ditingkatkan
diantaranya dengan solusi di atas.
Dengan melihat kondisi fisik dan sosial ekonomi yang ada, maka banjir
kemungkinan masih akan terjadi pada tahun-tahun mendatang dan diperkirakan
akan terjadi dengan intensitas yang lebih besar. Hal ini harus dijadikan bahan
pemikiran oleh semua pihak bahwa untuk mengatasi banjir tidak bisa dilakukan
oleh Pemerintah saja tetapi juga oleh masyarakat. Banjir di DKI tidak bisa diatasi
oleh propinsi DKI sendiri, melainkan juga propinsi Jawa Barat dan Banten, tidak
bisa dilakukan hanya dengan perbaikan fisik tetapi juga perbaikan sosial ekonomi
masyarakat, tidak juga bisa dilakukan sepotong-sepotong tetapi harus terpadu
dalam satu kesatuan DAS.
Berdasarkan hasil investigasi di tiga DAS menunjukkan bahwa hutan
dalam DAS mempunyai batas maksimum tertentu dalam kaitannya dengan upaya
mengendalikan banjir. Pada intensitas hujan yang sangat tinggi fungsi hutan
menjadi tidak efektif dalam hal menahan laju limpasan. Dengan demikian
keberadaan hutan dalam DAS seharusnya dipandang sebagai salah satu bagian
dari keseluruhan usaha terpadu menurunkan terjadinya banjir .
Banjir, Penyebab dan Solusinya
27
DAFTAR PUSTAKA
Arifjaya, N.M. 2002. Hutan dan Pencegahan Banjir. Makalah Seminar
Disampaikan dalam Diskusi Panel Upaya Penanggulangan Banjir di
Jabotabek pada Tanggal 7 Maret 2002 di IPB Bogor.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Citarum-Ciliwung.
2002. Identifikasi Banjir dan Genangan di Wilayah Jabotabek. Bogor.
Dunne, T. and L.B. Leopold. 1978. Water in Environmental Planning. W.H.
Freeman & Comapny. New York.
Kompas. 7 Februari 2002. Banjir, Akibat dari Keserakahan Ekonomi.
Pusat Data dan Informasi Publik. 2002. Dirjen Sumber Daya Air:Dua Macam
Penyebab Banjir di Indonesia. Artikel di http://www.kbw.go.id pada
tanggal 22/02/2002.
Republika. 4 Februari 2002. Sungai-sungai yang Mengepung Jakarta.
Silalahi, M.D. 2002. Kasus Puncak: Pelanggaran Hukum Tata Ruang dan
Lingkungan, Siapa yang Bertanggung Jawab? Harian Kompas edisi 20
Februari 2002 hal 28

Oleh:Tim Peneliti BTP DAS Surakarta